Iklan

Kamis, 26 Juni 2025

Ratusan Warga Menghadang Polisi. Warga Sebut, "Barita Dolok Saribu" Diduga Mafia Tanah.



SIMALUNGUN//Sindo7.id - Persoalan Lahan di Kecamatan Huta Bayu Raja, Kabupaten Simalungun, kembali menjadi sorotan warga pada Kamis, 26 Juni 2025.


Bukan sekadar konflik agraria biasa, peristiwa ini mencerminkan ketegangan antara hukum negara dan legitimasi sosial yang hidup dalam masyarakat. Ketika aparat hukum hadir, bukan keadilan yang dirasakan warga, melainkan kecemasan akan keberpihakan.



Laporan Barita Dolok Saribu atas dugaan pencurian sawit justru menyulut kemarahan ratusan warga. Mereka bukan hanya membantah tudingan tersebut, tetapi secara terbuka menyebut Barita sebagai dugaan “mafia tanah” yang tidak memiliki dasar sah atas lahan yang disengketakan.


Warga menegaskan bahwa hak atas tanah tersebut bersifat turun-temurun, diwariskan dan dijaga selama beberapa generasi.


Upaya polisi melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) berlangsung di bawah tekanan dan teriakan protes. Ketidak hadiran Barita Dolok Saribu memperburuk ketegangan.


Bagi warga, kehadiran polisi seolah menjadi simbol ketidakadilan, terutama ketika yang diprioritaskan justru keterangan dari pelapor. Spanduk dan teriakan, “Polri milik rakyat, bukan milik mafia tanah” menggambarkan kekecewaan mendalam terhadap aparat.


Pangulu Pokan Baru, Jefri Gultom, mengingatkan pada putusan Mahkamah Agung tahun 2019 yang memenangkan pihak lain dalam sengketa serupa, sekaligus menggugurkan klaim Barita Dolok Saribu secara hukum.


Ini menjadi landasan kuat yang selama ini dipegang warga, bahwa hak mereka bukan hanya soal penguasaan fisik tetapi juga telah dibenarkan secara hukum tertinggi negara.


Kanit Idik III Sat Reskrim Polres Simalungun, Iptu Ivan Roni Purba, menyatakan bahwa polisi bersikap netral dan hanya menjalankan prosedur penyelidikan.


Namun, persepsi publik berbeda. Prioritas terhadap pelapor dan permintaan data baru belakangan menimbulkan kesan bahwa polisi tidak memahami konteks sosial-budaya yang menyelimuti kasus ini. Penyidik Tipiter, Josua Siagian, akhirnya meminta salinan putusan MA, tapi langkah itu dianggap terlambat.


Peristiwa di Kecamatan Huta Bayuraja menjadi cermin penting bahwa penyelesaian konflik agraria di Indonesia tidak bisa mengandalkan pendekatan hukum formal semata.


Dibutuhkan kebijakan yang mengintegrasikan dimensi sosial, sejarah lokal, dan hak-hak masyarakat setempat. 


Penegakan hukum harus menyatu dengan keadilan substantif yang berpihak kepada mereka yang secara nyata menggarap dan menjaga tanahnya.


Putusan MA seharusnya menjadi panduan utama, bukan hanya dokumen pelengkap. Pemerintah daerah pun harus proaktif, bukan reaktif, dalam melindungi warga dari kriminalisasi dan perampasan tanah berkedok legalitas.


Kasus ini menegaskan kembali urgensi reformasi agraria yang bukan hanya soal redistribusi tanah, tetapi juga pengakuan atas sejarah, identitas, dan keberlanjutan hidup masyarakat alokal. Negara perlu hadir, bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai pelindung hak-hak rakyat.


Kecamatan Huta Bayuraja dalah alam bagi kita semua, bahwa keadilan bukan hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus terlihat ditegakkan. 


Rdks/Krlip SM

0 komentar:

Posting Komentar